Bid TIK Polda Kepri – Jakarta. Kementerian Kesehatan
menerapkan dua pendekatan yaitu spesifik dan sensitif dalam upaya mencapai
target penurunan angka stunting pada anak-anak secara nasional
menjadi sebesar 14 persen 2024 mendatang.
Pada 2022, angka stunting nasional berada pada
angka 21,6 persen. Kemenkes berharap, pada tahun ini, bisa turun menjadi 17,8
persen, dan mencapai target 14 persen pada 2024.
“Hal ini memang bukan masalah sesederhana memberikan
makanan kepada anak-anak. Ada dua pendekatan utama secara nasional yaitu
pendekatan spesifik dan sensitif,” ujar Wakil Menteri Kesehatan Dante
Saksono Harbuwono, Senin (26/6/23).
Dante menjelaskan bahwa pendekatan spesifik berkaitan dengan
pemberian makanan tambahan pada anak-anak, mencegah anak-anak menjadi sakit,
dan sebagainya. Sedangkan pendekatan sensitif berkaitan dengan faktor-faktor
yang ada di lingkungan setempat, misalnya kemiskinan, sanitasi yang baik,
budaya setempat, dan sebagainya.
“Misalnya pendekatan spesifik sudah dilakukan dengan
memberikan makanan tambahan, tetapi pendekatan sensitifnya tidak dilakukan
seperti angka diare meningkat akibat sanitasi jelek, maka itu juga akan
menurunkan berat badan dan gizi anak-anak,” terang Dante.
Dante melihat, pendekatan sensitif yang berkaitan dengan
kebiasaan tradisional pada suatu daerah dapat memengaruhi
angka stunting pada anak-anak.
“Misal, ada daerah yang melarang makanan tertentu bagi
anak-anak, itu juga akan menurunkan angka program stunting. Jadi, memang
butuh komitmen tidak dari pemerintah pusat saja secara eksklusif, namun juga
peran pemerintah daerah dan kementerian serta lembaga,” tegas Dante.
Lebih lanjut, Dante menjelaskan perihal pemahaman mendasar
dari stunting yang erat kaitannya dengan kekurangan gizi kronis pada
anak-anak.
“Pertama yang harus dipahami bahwa angkanya didapat
dari panjang badan dibagi umur. Tetapi, perhitungan tersebut harus dikaitkan
dengan kekurangan gizi atau riwayat gizi buruk yang ada sebelumnya, yang kita
kenal dengan wasting atau underweight,” terang Dante.
Wasting adalah penghitungan berat badan dibagi dengan
umur, sedangkan underweight adalah penghitungan berat badan dibagi
dengan tinggi badan.
Jika ada anak-anak yang tinggi badan dibagi dengan umur
dalam definisi stunting adalah pendek tetapi tidak punya riwayat gizi
buruk sebelumnya, maka dia tidak dikategorikan sebagai stunting.
“Memang perawakannya saja pendek. Tetapi kalau ada
riwayat kekurangan gizi
sebelumnya, wasting dan underweight baru kita sebut
sebagai stunting,” jelas Dante.
Dante mengatakan, Kemenkes juga telah melakukan pengukuran
dengan hasil bahwa stunting masih bisa terlihat pada anak-anak dengan
rentang usia sampai 5 tahun.
Menurutnya, penentuan rentang usia 5 tahun sebagai cut
off point dalam identifikasi stunting karena rentang waktu
tersebut menentukan perkembangan otak anak-anak yang akan turut mempengaruhi
kualitas hidup, fisik, dan mentalnya pada saat dewasa kelak.
“Kekurangan gizi kronis terjadi pada usia 2-3 tahun.
Kalau pada usia tersebut berat badannya tidak naik atau waktu ditimbang rata,
maka itu berarti sudah masuk kondisi wasting. Tapi kemudian kalau dibagi
tinggi badan dia tambah turun, maka masuk underweight. Ini masih terus
terjadi sampai umur 5 tahun,” imbuh Dante.
Kekurangan gizi, kata Dante, berakibat pada kondisi berat
badan anak-anak. Apabila berat badan anak-anak semakin lama semakin kecil
sesuai perkembangan umur dan akhirnya tinggi badannya berpengaruh, maka akan
terjadi underweight atau kekurangan gizi.
“Kekurangan gizi timbul dalam bentuk berat badan dibagi
tinggi. Kalau penurunan angka terus berlanjut, maka akan jadi stunting.
Karena itu penanganan paling bagus untuk stunting bukan pada saat hal
tersebut sudah terjadi, tetapi jauh sebelum itu yaitu pada saat gizi buruk
mulai terlihat. Harus cepat diobati,” tutup Dante.