Sumber Daya Manusia (As SDM), Irjen. Pol. Dedi Prasetyo, mengupas soal
transformasi penegakan hukum di era Polri Presisi. Ia mengatakan, transformasi
ini dilakukan dengan pendekatan keadilan restoratif atau restorative justice.
Menurutnya, tiga poin transformasi operasional dan penegakan
hukum yang terdiri dari transformasi organisasi, polsek menjadi basis resolusi
dan modifikasi KPI kinerja polisi.
“Transformasi organisasi merupakan 1 dari 4 program
transformasi menuju Polri yang Presisi, dengan tujuan untuk menjadi lebih baik.
Aliran positivisme ke aliran progresif untuk lebih memenuhi rasa keadilan
masyarakat,” ungkap AS SDM saat menjadi narasumber bedah buku Keadilan
Restoratif : Strategi Transformasi menuju Polri Presisi di Universitas Islam
Sultan Agung (Unissula), Semarang, Jawa Tengah (Jateng), Senin .
Lebih lanjut ia menjelaskan, dalam transformasi, Polsek akan
menjadi basis resolusi dan merealisasikan Bhabinkamtibmas sebagai pusat
informasi dan problem solver. Key Performance Indikator (KPI) kinerja Polri
tidak hanya fokus pidana, tetapi juga restorative justice.
Mantan Kadiv Humas Polri ini lalu menerangkan, restorative
justice berorientasi pada pemulihan
menyeluruh. Hadirnya penyelesaian masalah hukum dengan restorative justice
menjawab untuk ketidakpuasan dan rasa frustrasi terhadap hukum pidana formal.
“Bentuk paling sederhananya, reparasi. Menitikberatkan pada
adanya partisipasi langsung dari pihak terkait. Ini sejalan dengan Paradigma
Hukum Modern yaitu keadilan korektif, keadilan restoratif, keadilan
rehabilitatif,” ungkap As SDM.
Ia lalu menerangkan, terdapat empat indikator dalam
penyelesaian pelanggaran hukum dengan pendekatan restorarive justice, yakni
pelaku, korban, masyarakat dan aparat hukum.
“Model penyelesaian dengan pendekatan keadilan restoratif
merupakan suatu proses di luar peradilan formal yang dijalankan dengan
memperhitungkan pengaruh yang lebih luas terhadap korban, pelaku, dan
masyarakat itu sendiri,” ujar As SDM.
Dalam penyelesaian dengan restorative justice, ujar As SDM,
pelaku bertanggung jawab memulihkan kerugian yang dialami korban akibat
tindakan pelaku. Ia menjelaskan, korban dalam hal restorative justice,
menjalani mediasi dan menentukan sanksi untuk pelaku.
“Masyarakat sebagai mediator, juga berperan menyediakan
kesempatan bagi pelaku. Sementara aparat penegak hukum memfasilitasi mediasi,”
jelas As SDM.
Mantan Kapolda Kalimantan Tengah (Kalteng) ini menuturkan
penghentian kasus dengan restorative justice di Polri, dalam kurun waktu 1
Januari 2021 hingga 14 Februari 2022, mencapai 15.787 kasus. Meski demikian, ia
mengakui masih adanya kendala dalam penerapan restorative justice.
“Kendala dalam implementasi, di sisi pendekatan sektoral
belum berorientasi pada restorasi korban, di mana penyelesaian perkara hukum
masih berorientasi pada konsep pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana,”
ungkapnya.
Oleh sebab itu, restorative justice masih harus dirumuskan
secara komprehensif, mulai dari substansi, struktur, dan kultur hukum dalam
suatu program kerja sistem peradilan pidana, yang melibatkan semua unsur
criminal justice system. Kemudian, kendala di masyarakat dipandang masih
menganut konsep balas dendam, di mana publik beranggapan pelaku pidana harus
dihukum seberat-beratnya melalui pemenjaraan.
“Padahal pada kenyataannya, sebagian narapidana yang usai
menjalani hukuman tak mendapatkan pelajaran seperti yang diinginkan dalam
konsep pemenjaraan,” jelas As SDM.
Irjen. Pol. Dedi berpendapat, perlu adanya perubahan
paradigma terkait penegakan hukum di masyarakat. Namun, penerapan pendekatan
keadilan restoratif membutuhkan prasyarat berupa perubahan paradigma
masyarakat, yang pada gilirannya diharapkan akan mengubah paradigma penegak
hukum.
Selain itu, ia menyampaikan restorative justice dapat
membantu menyelesaikan masalah, salah satunya mengurangi jumlah kasus yang
menumpuk. As SDM menekankan soal restorative justice telah diatur dalam Surat
Edaran Kapolri Nomor 8 Tahun 2018, dan disempurnakan dalam Perpol Nomor 8 Tahun
2021.
“Pendekatan keadilan restoratif sangat tepat
diimplementasikan di Indonesia, karena nilai lebihnya berasal dari filosofi
yang mengeratkan hubungan antara manusia dengan manusia lain, hubungan dengan
Tuhan dan hubungan manusia dengan alam,” jelasnya.