Kepolisian dan Praktisi Media Edy
Budiyarso, SH, MH. Mengatakan, Istilah “scientific crime investigation”
belakangan kerap dipakai oleh petinggi Polri untuk menyebutkan penyelidikan
ilmiah berdasarkan ilmu pengetahuan dalam mengungkap kasus kejahatan.
Seperti dinyatakan Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit
Prabowo, bahwa pengungkapan kasus kematian Brigadir J, menggunakan metode
“scientific crime investigation” atau kerap disebut CSI. Cara ini dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah, karena cara ini menggabungkan ilmu pengetahuan dan kecanggihan
teknologi.
Adalah Alphonse Bertillon, Kriminolog asal Perancis
(1835-1914) yang memperkenalkan metode deteksi ilmiah. Perancis, memang dikenal dengan kisah
detektifnya yang ulet mengejar penjahat, seperti cerita Inspektur Javerts dalam
cerita film Les Miserables.
Bertillon menggunakan metode antropometri untuk
mengindetifikasi pelaku kejahatan yang sebelumnya tak dicatat polisi secara
akurat. Dengan Antropometri, Bertillon
berkeyakinan bahwa para penjahat memiliki ciri-ciri fisik khusus di tubuhnya yang
berbeda dengan orang awam.
Karenanya, Bertillon perlu mengukur para narapidana yang
sedang di penjara. Pengukuran mencakup,
panjang dan lebar kepala, panjang jari kiri, tengah dan jari kelingking,
panjang kaki kiri, panjang lengan kiri, panjang telinga kanan, tinggi badan,
ukuran rentang lengan dan ukuran panjang badan hingga ujung kepala saat orang
dalam posisi duduk. Model
pengidentifikasian inilah yang kemudian dikenal sebagai Metode Bertillon.
Walaupun Metode Bertillon dianggap kuno bagi kejahatan
modern seperti sekarang ini yang mencoba menghilangkan jejak dengan sesempurna
mungkin. Tetapi, sistem ini menjadi dasar bagi perkembangan ilmu
pengidentifikasian yang lebih sophisticated. Metode ini masih dipakai hingga
kini dalam pengidentifikasian wajah dan postur pelaku kejahatan yang sering
dibuatkan dalam sketsa pelaku kejahatan.
Sedangkan bagi pembunuhan dengan derajat sadisme level
tinggi, seperti mutilasi dan lain-lain, penggunaan data antemortem seperti
sidik jari, bentuk gigi pada tengkorak korban, hingga kode genetik atau DNA
dinilai lebih akurat. Dan kemampuan ini
sudah dikuasai oleh jajaran INAVIS dan Laboratorium Forensik Polri yang menjadi
support system Bareskrim Polri.
Jadi, seperti adigium “Tidak ada kejahatan yang
sempurna”, maka dengan Ilmu pengetahuan
dan teknologi canggih yang semakin banyak dikuasai detektif kita, berbagai
kejahatan walaupun hendak disembunyikan serapi apa pun, tetap besar kemungkinan
bisa terungkap. Lalu bagaimana, jika masih ada “dark number?” Itu hanya soal
waktu saja.