Jenderal Bintang Dua itu menambahkan bahwa secara konflik Pemilu sebelumnya beberapa kasus menonjol diantaranya, bentrok antar pendukung bahkan ada yang menggunakan senjata api ilegal. Ia menambahkan karakteristik masyarakat Jatim, ada sebagian masyarakat yang cukup memiliki temperamen tinggi kemudian mudah terprovokasi terhadap isu dan pemberitaan hoax termasuk politik identitas.
“Pada Pemilu tahun 2019 juga sempat terjadi pencurian kotak suara, pengerusakan, bahkan sampai adanya pembakaran Mako Polsek dan pengerahan massa dalam rangka menolak penghitungan hasil pemilu, ini inventarisir terhadap sejarah konflik pemilu di 2019,” jelasnya lebih lanjut.
Mantan Kapolda Kaltim itu juga mengungkapkan bahwa hasil pemetaan di seluruh Pulau Madura adalah pengaruh tokoh masyarakat sangat patuh terhadap tokoh agama, ulama, kepala desa.
“Dan terakhir adalah fanatisme relawan, yang mana kurang lebih 41 juta jumlah penduduk Jawa Timur betul-betul memunculkan berbagai potensi relawan untuk mendukung Paslon sehingga di grass road ini memiliki potensi kerawanan untuk bentrok,” tambahnya.
Kapolda Jatim juga mengungkapkan bahwa ada dua isu sosial yang mempengaruhi tahapan Pemilu di 2024 yang harus menjadi perhatian. Pertama ancaman intoleran radikalisme dan terorisme yang masih betul-betul mengemuka dan kedua adalah isu sosial yang mempengaruhi tahapan Pemilu di 2024 itu yaitu konflik perguruan pencak silat.
“Kedua hal ini tidak boleh diabaikan, ini harus menjadi perhatian seluruh pihak,” tegasnya.
Kapolda Jatim pun menyampaikan terimakasih kepada seluruh jajaran Forkopimda yang telah bersama – sama mengatasi beberapa konflik terkait perguruan pencak silat.
“Ini saya terima kasih kepada rekan-rekan forkopimda di kabupaten kota terutama ibu Gubernur, atas dukungan kebersamaan kita untuk mengajak para anggota dari simpatisan perguruan pencak silat ini untuk bersama-sama membongkar tugu tugu di Desa maupun kecamatan yang menjadi salah satu pemicu terjadinya konflik antar perguruan pencak silat,” tutup Mantan Asops Kapolri itu.