Bid TIK Polda Kepri – Jakarta. Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara
(UMSU), Alpi Sahari, menemukan hal yang cukup menarik dari pemikiran As SDM
Polri Irjen Pol Dedi Prasetyo yakni tentang adanya pembadanan yang maknanya
ditujukan dalam implementasi restorative justice atau keadilan restoratif
sebagai nukleus transformasi menuju Polri Presisi. Pemikiran Irjen Dedi ini, ungkap Alpi dinilai membuat
Polri semakin dicintai dan dihati masyarakat.
Alpi menuturkan, pemikiran ini tentunya didasarkan pada fondasi
ius constituendum, ius operatum dan ius constitum menuju Indonesia yang
berkemajuan dan generasi emas di tubuh Polri.
“Keadilan restoratif yang dibadankan dengan transformasi
menuju Polri Presisi akan melahirkan keadilan transformatif yang berbasis pada
sustainable problem solving dalam konteks welfare state (negara kesejahteraan)
sebagaimana diamanahkan oleh UUD 1945,” jelas Alpi.
Alpi menyatakan, bahwa salah satu pemikiran brilian Irjen
Dedi di dalam pemaknaan aliran progresif pada bidang hukum, yakni dengan
mengimplementasikan keadilan restoratif tidak harus didasarkan pada text books
namun memperhatikan customary law.
Menurut Alpi, di negara-negara maju di Eropa Continental dan
Anglo Saxon, konsep ini mampu memberikan hadirnya hukum ditengah-tengah
masyarakat sebagai kebutuhan masyarakat akan kesadaran ketertiban dan
keteraturan, sehingga negara ini keluar dari paradoks black letter rule.
“Pemikiran Irjen Pol Dedi Prasetyo dapat ditemukan
dalam bukunya bahwa ‘Keadilan restoratif bisa dengan pendekatan yang
mengikutsertakan konsep budaya dan aspek ketradisionalan, serta keseharian
masing-masing daerah,” ujar Alpi yang sering diminta Polri untuk menjadi saksi ahli
dalam beberapa kasus yang menjadi perhatian publik ini.
Lebih lanjut, Alpi yang juga ditunjuk sebagai pembimbing
Mahasiswa Program Doktor (S3) di UNISULLA Semarang dan beberapa Universitas
lainnya di Indonesia menilai penerapan keadilan restoratif merupakan bentuk
komitmen Polri dalam memenuhi prinsip rasa keadilan.
“Polri menitikberatkan pada upaya pencegahan dengan
berpedoman pada Perpol Nomor 8 Tahun 2021 tentang keadilan restoratif.” ungkap Alpi.
Di dalam hukum pidana, Alpi menjelaskan, customary law
sering dipahami sebagai living law dalam ajaran materile wederrechtelijkheid,
dimana dilihat dari fungsi negatif dan positif menitikberatkan pada pencelaan
yang diformulasikan dalam arrest norm.
Namun dalam proses penegakan hukum pada sistem peradilan
pidana, menempatkan penyidik sebagai prime mover terbiasa dengan teks books
(legalitas formal) yang berbasis pada formile wederrechtelijkheid.
Bahkan, ungkap
Alpi, Mahkamah Konstitusi (MK) sendiri yang menguji undang-undang dengan
konstitusi lebih bersandar pada ajaran formile wederrechtelijkheid. Hal ini
dapat dilihat dari beberapa putusan Mahkamah Konstitusi yang memaknai frasa
“melawan hukum” dalam undang-undang.
Materile wederrechtelijkheid dalam fungsinya yang negative,
berarti meskipun perbuatan memenuhi unsur delik tetapi tidak bertentangan
dengan rasa keadilan masyarakat maka perbuatan tersebut tidak dipidana.
Sedangkan materile wederrechtelijkheid dalam fungsinya yang
positif mengandung arti bahwa meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam
peraturan perundang-undangan, namun jika perbuatan tersebut dianggap tercela
karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial
dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.
“Dapat disimpulkan bahwa materile wederrechtelijkheid dalam
fungsinya yang negatif merupakan alasan pembenar, sementara materile
wederrechtelijkheid dalam fungsinya yang positif pada dasarnya bertentangan
dengan asas legalitas Crote rechtsongelijkheid is immers daarvan te vrezen: de
ene rechter zal al seen behoorlijk doel en juiste meiddelen aanvaarden, wat de
andere verwerpt (Dikhawatirkan timbul ketidaksamaan hukum yang besar; karena
hakim yang satu menerima sebagai alasan pembenar, sementara hakim yang lain
menolak)”. jelasnya.
Alpi mengungkapkan, materile wederrechtelijkheid dalam
fungsinya yang negatif tergambar dalam pemikiran progresif implementatif Irjen
Pol Dedi Prasetyo yang tertuang dalam buku berjudul “Keadilan Restoratif
Strategi Transformasi Menuju Polri Presisi”.
“Sehingga menurut saya dapat dijadikan rujukan bagi seluruh mahasiswa
ilmu hukum di Indonesia dan personel Polri dalam melaksanakan tugas pokok dan
fungsinya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2
Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia,” tutupnya.